ASPEK-ASPEK FILOSOFIS ZAKAT DALAM AL-SUNNAH
ASPEK-ASPEK FILOSOFIS ZAKAT DALAM AL-SUNNAH
A. Pendahuluan
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai
status dan fungsi yang penting dalam Syari’at Islam. Zakat merupakan ibadah
yang wajib dikerjakan oleh setiap individu muslim yang sudah memenuhi kriteria
kewajiban zakat. Syari’at zakat merupakan ibadah dalam bentuk membersihkan
setiap kekayaan yang dimiliki oleh individu muslim.
Didalam zakat terdapat
pendidikan rohani yang
sangat dalam artinya
bagi umat manusia. Ia mendidik manusia taat kepada perintah Allah, menghilangkan
egoisme dan pemborosan dalam menggunakan harta
benda. Zakat membersihkan
harta maupun jiwa
dari hal-hal yang
kurang atau tidak baik.Ia
mempersiapkan dan mendidik manusia untuk mampu hidup bermasyarakat yang
meski menuntut rasa saling membutuhkan dan tolong menolong.[1]
Ibadah zakat pada dasarnya
adalah ibadah yang sangat humanis
karena didalamnya mengandung
banyak nilai,baik nilai taqwa, ukhuwah, keadilan maupun nilai solidaritas
sosial. Dalam nilai-nilai inilah ibadah zakat tergolong ibadah yang sangat
mulia dan esensial, sehingga perintah
untuk melakukan ibadah
zakat banyak terdapat
dalam ayat-ayat al-Qur’an
maupun dalam hadis
nabi. Namun secara praktek atau
implementasi ibadah zakat
masih jauh dari
harapan, kesadaran orang-orang
Islam akan pentingnya
zakat ini masih
sangat kurang, sehingga
proses pelaksanaannya juga
terhambat.
Dengan masih banyaknya pihak yang belum menunaikan perintah zakat
sepertihalnya menjalankan ibadah-ibada lainnya, maka penting menurut penulis
untuk melakukan penelitian dan menganalisa nilai-nilai filosofi apakah yang
terkandung dalam hadis dan sunah nabi yang membahas terkait perintah untuk berzakat
yang pada akhirnya mengharapkan agar melalui tulisan ini dapat menggugah umat
muslim agar lebih sadar untuk mengeluarkan zakat.
B.
Pembahasan
1.
Ketentuan
Umum Tentang Zakat
Zakat sebagai salah satu rukun Islam, selain mengandung aspek
ibadah vertikal yaitu merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah,
juga mengandung aspek pembinaan kesejahteraan masyarakat (horizontal) karena ia
berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan yang “punya”
(muzakki) kepada yang “tidak berpunya” (mustahiq). Ia merupakan institusi Allah
yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat; yang kuat
membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin sehingga taraf kehidupan
masyarakat dapat ditingkatkan.
Secara etimologis, zakat memiliki arti bersih, suci, berkah,
tumbuh, maslahat, dan berkembang. Artinya setiap harta yang dikeluarkan zakatnya
akan bersih, tumbuh, berkah, dan berkembang dalam kitab Kifayatul Akhyar
disebutkan:
الزكاة في اللغة
النمو و البركة كثرة الخير[2]
Artinya:“Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan banyak
kebaikan”.
Adapun secara
terminologi (istilah) zakat berarti “mengeluarkan sebagian harta, diberikan
kepada yang berhak menerimanya, supaya harta yang tinggal menjadi bersih dan
orang-orang yang memperoleh harta menjadi suci jiwa dan tingkah lakunya.[3]
Dalam kitab
Fathul Wahab, Imam Zakaria Al-Anshori mengartikan bahwa zakat yaitu
اسم لما يخرج عن
مال او بدن علي وجه مخصوص[4]
Artinya : Sesuatu nama dari harta atau badan yang dikeluarkan
menurut syaratsyarat yang telah ditentukan.
Pengertian
zakat di atas merupakan pengertian zakat darikalangan Syafi`iyah. Adapun
pengertian zakat menurut Madzhab Hanafi yaitu “menjadikan sebagai harta yang khusus,
sebagai milik orang khusus yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT.[5]
Yang dimaksud
dengan kata ”sebagian harta” dalam pernyataan di atas ialah keluarnya manfaat
(harta) dari orang yang memberikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “bagian
yang khusus” ialah kadar yang wajib dikeluarkan. Maksud “harta yang khusus”
adalah nisab yang ditentukan olehsyariat. Maksud “orang yang khusus” ialah para
mustahiq zakat. Yang dimaksud dengan “yang ditentukan oleh syariat” ialah
seperempat puluh (yakni 2,5%) dari nisab yang ditentukan, dan telah mencapai
haul. Sedangkan yang dimaksud dengan pernyataan ”karena Allah SWT.” adalah
bahwa zakat itu dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Dari sini
jelaslah bahwa zakat, menurut terminologi para Fuqoha, dimaksudkan sebagai
“penunaian”, yakni penunaian hak yang terdapat dalam harta. Zakat juga
dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk
diberikan kepada orang-orang fakir miskin.
Dalam Islam,
Zakat terbagi kedalam dua jenis, yakni :
a.
Zakat
Mal, yakni Zakat
Harta. Jadi, zakat mal yaitu zakat yang harus dikeluarkan setiap umat muslim
terhadap harta yang dimiliki, yang telah memenuhi syarat, haul, dan nishabnya.
b.
Zakat
Fitrah, yakni zakat
badan atau tubuh. Zakat ini dilaksanakan setiap menjelang Idul Fitri sebanyak 3
liter dari jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Zakat ini dilaksanakan
bersamaan dengan diwajibkannya puasa bulan Ramadlan, yaitu dua hari sebelum
Hari raya Fitri tahun ke-2 Hijriyah.
Adapun ketentuan
mengenai hukum zakat serta pembagian zakat sudah dijalaskan baik dalam
al-Qur’an maupun al- Hadis. Kata zakat dalam bentuk ma’rifat disebut pada 32 ayat dalam
AlQur’an yang diantaranya 26 kali dalam Al-Qur’an menegaskan kewajiba zakat
bersamaan kewajiban shalat.[6]
2.
Sejarah
Disyariatkannya Zakat
Nas al-Qur’an tentang zakat diturunkan dalam dua periode (tahapan),
yaitu periode Mekah sebanyak delapan ay at, diantaranya terdapat dalam surat 73/al-Muzammil ayat 20, surat 98/al-Bayyinah
ayat 5. Selebihnya ayat tentang zakat
diturunkan dalam periode
Madinah. Ayat-ayat tentang
zakat tersebut terdapat
dalam berbagai surat
antara lain terdapat
dalam surat al-Baqarah
ayat 43, surat al-Maidah ayat 12.[7]
Perintah zakat yang
diturunkan pada periode
Mekah, sebagaiman terdapat
dalam kedua ayat
tersebut di atas
baru merupakan anjuran
untuk berbuat baik
kepada fakir miskin dan
orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan yang diturunkan pada
periode Madinah, perintah tersebut telah telah menjadi kewajiban mutlak (ilzami).
Perintah wajib zakat secara mutlah ini diturunkan pada bulan Syawal
pada tahun keduan hijrah Nabi SAW. Kewajibannya terjadi setelah kewajiban puasa
Ramadhan dan zakat fitrah. Zakat mulai diwajibkan di Madinah karena masyarakat
Islam sudah mulai terbentuk, dan kewajiban ini dimaksudkan untuk membina
masyarakat muslim yakni sebagai bukti solidaritas sosial, dalam arti bahwa
orang kaya yang berzakat yang patut masuk dalam barisan kaum beriman. Adapun
ketika umat Islam masih berada di Makkah.
Allah SWT, sudah menegaskan dalam Al-Qur’an tentang pembelanjaan
harta yang belum dinamakan zakat, tetapi berupa kewajiban infaq, yaitu bagi
mereka yang mempunyai kelebihan wajib membantu yang kekurangan, besarnya
tergantung kepada kerelaan masing-masing, yang tentunya kerelaan itu berkaitan
erat dengan kualitas iman yang bersangkutan.[8]
Selama tiga belas tahun di Makkah, kaum muslimin didorong untuk manginfakkan
harta mereka buat fakir, miskin, budak, namun sebelum ditentukan nishab dan
berapa kewajibannya zakatnya, juga belum diketahui apakah telah diorganisasi
pengumpulan dan penyalurannya. Yang jelas, kaum muslimin awal memberikan
sebagian harta mereka untuk kepentingan Islam. Abu Bakar r.a. misalnya,
memerdekakan sejumlah budak setelah membeli mereka dengan harga mahal. Periode
Madinah ditentukan nishab dan jumlah kewajiban zakat administrasi, pengumpulan
dan penyalurannya. Zakat turun di madinah memberikan rincian sistematik tentang
kewajiban zakat. Bahkan ceramah Rasulullah di madinah setelah hijrah berisi
juga kewajiban zakat dan Infaq. Rasulullah pernah mengirim Ala al-Hadrami ke
Bahrain dan Amr ke Oman pada tahun 8 H, Muadz ke Yaman pada tahun 9 H.
Dalam banyak riwayat dikisahkan bahwa zakat dari suatu daerah disalurkan
kedaerah itu juga, tidak dibawa ke Madinah. Meski demikian, beberapa riwayat
mengisahkan sebagian zakat ada juga yang dikirim ke Madinah. Konsep zakat tidak
statis, tapi terus dikembangkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para ulama’
setelahnya.[9]
3.
Zakat
dalam Al-Sunnah
Banyak sekali hadis yang menyatakan tentang perintah mengeluarkan
zakat diantaranya adalah Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ketika
Nabi mengutus Mu’adz bin Jabbal ke Yaman yang berbunyi :
حَدَّثَنَا أَبُو
عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ
أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ
صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.(رواه
البخاري)[10]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim Adh-Dlohhak
bin Makhlad dari Zakariya' bin Ishaq dari Yahya bin 'Abdullah bin Shayfiy dari
Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma Bahwa Rasulullah SAW mengutus
Muadz RA ke Yaman, lalu bersabda: “Serulah mereka kepada Syahadat bahwa tidak
ada Illah selain Allah, dan Aku adalah Rasulullah, bila mereka taat, maka
ajarkanlah sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka lima waktu shalat
dalam sehari semalam, bila mereka taat makan ajrkanlah bahwa Allah telah mewajibkan
sedekah pada harta mereka yang diambil dari golongan kaya diantara mereka dan
diserahkan kepada kaum miskin”.( HR. Bukhori )
Dari sabda Nabi (تؤ خذ من اغنياءهم) ulama menyimpulkan bahwa imam atau yang
mewakilinya berhak mengambil zakat dan menyalurkannya, jika di antara mereka
yang sudah terkena kewjiban zakat tidak mau menunaikan, maka boleh di ambil
secara paksa.[11]
Makna yang
dapat diambil dari hadis Nabi di atas adalah perintah agar mengeluarkan zakat
(shadaqah) yang dikenakan pada kekayaan orang-orang kaya”. Yang dimaksud dengan
shodaqoh disana adalah zakat. Terdapat pula penggunaan istilah mushadiq untuk
amil, oleh karena ia bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan shadaqah tersebut.
Namun dalam penggunaan sehari-hari kata shadaqah itu disalahartikan, yaitu
hanya berarti shadaqah yang diberikan kepada pengemis dan peminta-minta. Kata
shadaqah sesungguhnya berasal dari kata Terkait dengan istilah shodaqoh sebagai
zakat adalah shidq yang berarti benar.
Pendapat Qadhi
Abu Bakar bin Arabi yang sangat berharga tentang mengapa zakat dinamakan
shadaqah. Kata shadaqah berasal dari kata shidq, benar dalam hubungan dengan sejalannya
perbuatan dan ucapan dan keyakinan. Oleh karenanya wajar jika Allah menyebut
istilah zakat dengan shodaqoh karena adanya kebenaran antara ucapan dengan amal
perbuatan.[12]
Dijelaskan juga
dalam hadis lain tentang kewajiban untuk menunaikan zakat
عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن عـمر بـن الخطاب
رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسـلم يقـول : بـني الإسـلام
على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء
الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم رمضان[13]
Artinya: Dari Abû Abdirrahmân, Abdullâh bin Umar bin al-Khaththab iya
berkata: saya mendengar Raslulloh bersabda: “Islam didirikan di atas lima
perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar
kecuali Allâh dan Muhammad adalah utusan Allâh, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR
al-Bukhâri dan Muslim)
Dari hadis di
atas dapat dipahami, bahwa seorang muslim kalau hanya mengerjakan shalat dan
atau rukun Islam yang lainnya tanpa menunaikan zakat, maka dia telah berdosa
karena hukumnya sama-sama wajib. Jika seorang muslim tidak menunaikan zakat
sedangkan dia sudah memenuhi syarat-syarat wajibnya zakat maka belum
sempurnalah imannya.
Sebaliknya,
orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat dari hartanya padahal telah
memenuhi persyaratannya, maka harta tersebut akan menjadi ancaman bagi
pemiliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
من أتاه الله مالا فلم يؤد زكاته مثل
له يوم القيامة شجاعا أقرع ذبيبتان يطوقه يوم القيامة ثم يأخذ بلهزمية يعنى شدفيه ثم
يقول: أنا مالك، كنزك ثم تلا: لايحسن الذين يبخلون بما أتاهم الله من فضله هو خيرا
لهو بل هو شرلهم سيطوقون ما بخلوابه يوم القيامة. (رواه البخارى)[14]
Artinya: Barang siapa
yang diberikan Allah kekayaan, tetapi tidak membayarkan zakatnya, maka pada
hari kiamat hartanya itu dijadikan ular bertaring dan dikalungkan di lehernya,
lalu ular itu menggigit pipinya. Ia berkata: saya adalah barta engkau, simpanan
engkau. Kemudian Nabi SAW membaca ayat: Dan janganlah mengira orang-orang kikir
dengan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya akan menjadi kebaikan bahkan
kejahatan bagi mereka, nanti di hari kiamat akan digantungkan di leher mereka,
harta yang mereka kikirkan itu. (HR. Bukhari)
Agama Islam sangat mementingkan
kesejahteraan sosial bagi umatnya. Kesejahteraan sosial akan dapat terwujud
apabila adanya sikap saling tolong- menolong antara orang yang kaya dengan
orang yang miskin. Manusia di dunia ini ditakdirkan tidak sama keadaannya, ada
yang kaya dan ada yang miskin, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang
pandai dan ada yang bodoh. Pada hakikatnya, setiap individu tidak dapat hidup
sendiri-sendiri, terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia harus hidup bermasyarakat
dan saling bekerja sama antara sesama individu tersebut. Dengan demikian,
dituntut kepada orang kaya agar membantu orang-orang miskin, sehingga hidup
mereka tidak terlantar.
4.
Aspek-Aspek
Filosofis Zakat dalam Al-Sunnah
Islam adalah agama
yang sempurna karena
didalamnya memuat ajaran-ajaran
yang sangat sempurna yang melingkupi segala aspek, baik aspek ibadah
mahdhah maupun
ibadah ghairu mahdhah. Dalam
aturan ibadah mahdhah
orang akan sibuk
dengan ibadah-ibadah yang
sifatnya vertikal, sedangkan dalam ibadah
ghairu mahdhah akan
banyak bersentuhan dengan
orang lain.
Didalam zakat terdapat
pendidikan rohani yang
sangat dalam artinya
bagi umat manusia. Ia mendidik manusia taat kepada
perintah Allah, menghilangkan egoisme
dan pemborosan dalam
menggunakan harta benda. Zakat membersihkan harta maupun jiwa
da ri hal-hal yang
kurang atau tidak baik. Ia
mempersiapkan dan mendidik manusia untuk mampu
hidup bermasyarakat yang mesti menuntut
rasa saling membutuhkan
dan tolong menolong.[15]
Ibadah zakat pada
dasarnya adalah ibadah
yang sangat humanis
karena didalamnya mengandung banyak
nilai pendidikan sosial,
baik nilai taqwa, ukhuwah, keadilan maupu nilai solidaritas sosial.
Dalam nilai-nilai inilah ibadah zakat tergolong ibadah yang
sangat mulia dan esensial, sehingga perintah untuk melakukan ibadah zakat banyak
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an maupundalam hadis nabi.
Namun secara praktek atau implementasi
ibadah zakat masih jauh dari harapan, kesadaran orang-orang
Islam akan pentingnya zakat ini
masih sangat kurang,
sehingga proses pelaksanaannya juga terhambat.
Secara umum terdapat tiga landasan filosofis diwajibkannya zakat
kepada umat islam yaitu: Pertama, Istikhlaf
(penugasan sebagai khalifah di bumi). Manusia
yang beriman kepada Allah dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari
seluruh harta benda yang disimpan dilangit dan dibumi adalah Allah, bahwa pengurusan
hidup manusia sebenarnya hanyalah ada di tangan-Nya; bahwa perhitungan urusan
yang sebesar debu pun ada pada catatnya. Dan bahwa balasan akhir atas
perbuatan-perbuatan baik dan buruk dari manusia akan diberikan olehnya dengan
perhitungan yang mutlak, maka akan mudahlah bagiannya untuk mempercayakan diri
padanya. Dan bukan kepada pendapat dan fikiran diri sendiri, tentu ia akan mau
membelanjakan harta bendanya menurut arahan yang diberikan oleh Allah dan
menyerahkan soal untung rugi kepadanya semata-mata. Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah tugas
mewujutkan kemakmuran dan kesjahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS
Al-An’am:165) serta tugas pengapdian atau ibadah dalam arti luas (QS
Adz-Dzariyat:56). Untuk menunaikan tugas tersebut,Allah memberikan manusia
anugrah sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS Luqman:20).
Kedua, Solidaritas
sosial. Tuhan
yang menciptakan bahan mentahnya dan manusia atas petunjuk Allah SWT yang
mengelolanya. Nah, kalau demikian wajarlah bila tuhan menyatakan bahwa harta
adalah milik-Nya, dan wajar pulalah bila ia memerintahkan untuk mengeluarkan
sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu.[16]
Ketiga, persaudaraan.
ersaudaraan akan lebih kokoh, jika pertalian darah diatas ditambah dengan
hubungan akidah dan kebersamaan agama.
Jadi hubungan persaudaraan telah menuntut bukan sekedar hubungan take
and give( memberi dan menerima) atau pertukaran manfaan tetapi melebihi itu
semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu walaupun yang dibantu
tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika mereka bersama, hidup dalam satu
lingkungan.
Adapun aspek-aspek filosofis yang terkandung dalam perintah
melasanakan ibadah zakat menurut sunnah rosulillah yaitu :
a.
Mendidik
untuk melaksanakan disiplin dan loyalitas seorang untuk menjaankan keajibannya dan menyerahkan pada
orang lain. Seseorang akan merasa
terdidik dalam melaksanakan
ibadah zakat karena
dengan adanya kewajiban yang harus diserahkan kepada orang
yang berhak.
b.
Dapat
mengembangkan tanggung jawab seseorang
terhadap kepentingan masyarakat dan kepentingan umum pada
hakikatnyaharta itu titipan
anamanat dari Allah, yang berat
ia memiliki tanggung jawab
untuk membelanjakan harta sesuai
dengan ketentuan Allah.
Dengan menunaikan ibadah
zakat menunujukkan pada
diri seseorang tersebut
telah ada sikap mendidik untuik
bertanggung jawab, karena harta yang ada harus di berikan pada orang yang
berhak menerimanya.
c.
Membina dan
merentangkan tali(persaudaraan) sesama
manusia. Perasaan persaudaraan
yang benar melahirkan
perasaan yang mulia
di dalam jiwa
muslim untuk membentuk
sikap sosial yang
positif seperti tolong
menolong, mengutamakan orang
lain. Kasih sayang
dan pemberian maaf
serta menjauhi sifat
negatif. Manusia adalah
bersaudara antara satu
dengan yang lain. Seseorang bisa dikatakan memahami hakikat pesaudaran
apabila sesorang menyadari kewajibannya sebagai saudara
yaitu saling menolong orang miskin. Membutuhkan bantuan harta benda
orang kaya.
d.
Membersihkan
diri dari sifat kikir dan akhlak yang tercela, serta mendidik diri agar bersifat
mulia dan pemurah dengan membiasakan memberi kepada orang yang berhak dan
berkepentingan.
Ibadah zakat
sebagai salah satu
ibadah wajib (salah
satu rukun Islam)
perlu ditanamkan karena
dengan kebiasaan atau
latihan zakat, pribadi
muslim akan terbina, sehingga
menjadi manusia yang sempurna
(Insan kamil). Dengan
demikian zakat merupakan
salah satu metode
dalam proses pembentukan
sikap sosial yang
perlu ditanamkan dan
dibina dan membentuk
pribadi muslim.
C.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Perintah
wajib zakat secara mutlah ini diturunkan pada bulan Syawal pada tahun keduan
hijrah Nabi SAW. Kewajibannya terjadi setelah kewajiban puasa Ramadhan dan
zakat fitrah. Zakat mulai diwajibkan di Madinah karena masyarakat Islam sudah
mulai terbentuk, dan kewajiban ini dimaksudkan untuk membina masyarakat muslim
2.
Secara
umum terdapat tiga landasan filosofis diwajibkannya zakat kepada umat islam
yaitu: Pertama, Istikhlaf. Kedua,Solidaritas
sosial dan Ketiga adalah persodaraan.
3.
Aspek-aspek
filosofis yang terkandung dalam perintah melasanakan ibadah zakat menurut al-Sunnah
yaitu :
a.
Mendidik
untuk melaksanakan disiplin dan loyalitas seorang untuk menjaankan keajibannya.
b.
Dapat
mengembangkan tanggung jawab seseorang
terhadap kepentingan masyarakat dan kepentingan umum pada
hakikatnyaharta itu titipan
anamanat dari Allah.
c.
dapat membina
dan merentangkan tali(persaudaraan) sesama
manusia. Perasaan persaudaraan
yang benar melahirkan
perasaan yang mulia .
d.
Membersihkan
diri dari sifat kikir dan akhlak yang tercela, serta mendidik diri agar bersifat
mulia dan pemurah dengan membiasaku membayar amanah kepada orang yang berhak
dan berkepentingan.
Daftar Pustaka
Ash-Shan'ani, Subulu
Al Salam, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010
Al-Jamali,
Muhammad Fadlil , Konsep Pendidikan Qur’ani, Ramadhani, t. th
Baqy, Fuad Abdul, Al-Mu’jam
al-Mufahrasy Li al-fadil Al-Qur’an al-Karim,Mesir:
Darul Qutub,tt
Bukhari, Shahih
Bukhari, Juz 1, Mesir: Mustafa, al-Babi al-Halabi, 1933
Fahruddin Hs, Ensiklopedi
Al-Qur’an, Renika Cipta, 1992
file:///C:/Users/NURAINI%20HULA/Downloads/NilaiNilai%20Filosofis%20dalam
%20Zakat.htm
Diakses pada 31 Maret 2017 Pukul 19.30
Karim, Adiwarman Aswar, Ekonomi
Islam Suatu kajian Kontemporer, Jakarta:
Gema Insani
Press, 2001
Mardani, Hukum
Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: Refika Aditama,2011
Muhammad, Zakat Profesi Wacana
pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta:
Salemba
Diniyah, 2002
Qadir, Abdurrachman, Zakat Dalam dimensi Mahdhah
dan Sosial, PT Raja
Grafindo:
Jakarta, 1998
Taqiyuddin, Kifayatul
Ahyar ,juz I,Semarang : Usaha Keluarga, tt
Zakaria,
Muhammad, Fathul Wahab,Dar Al-Fikr, tt,
Zuhaily, Wahbah, Zakat (Kajian
Berbagai Madzhab), Remaja Rosdakarya,
Bandung,Cet.I,
1995
[1] DR. Muhammad Fadlil Al-Jamali, Konsep
Pendidikan Qur’ani, Ramadhani, t. th., h. 119.
[2] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Ahyar ,juz I,)Semarang : Usaha Keluarga, tt(وh. 172
[3] Fahruddin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an,( Renika Cipta, 1992), h.
618
[4] Muhammad Zakaria Al-Anshori, Fathul Wahab,( Dar Al-Fikr, tt, ),h.
102
[5] Wahbah al-Zuhaily, Zakat (Kajian Berbagai Madzhab), (Remaja
Rosdakarya, Bandung,
Cet.I, 1995), h. 83
[6] Fuad Abdul Baqy, Al-Mu’jam al-Mufahrasy Li al-fadil Al-Qur’an
al-Karim,( Mesir:Darul Qutub), h. 331-332
[7] Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam dimensi Mahdhah dan Sosial, (PT
Raja Grafindo: Jakarta, 1998), h.44.
[8] Muhammad, Zakat Profesi Wacana pemikiran dalam Fiqih Kontemporer,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), .16
[9] Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu kajian Kontemporer,
( Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 191
[10] Imam al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 1, (Mesir: Mustafa,
al-Babi al-Halabi, 1933),h. 169
[11] Muhammad bin Isma'il A-Amir Ash-Shan'ni, Subulu Al Salam,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 13
[12] Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama,2011),h.27-28
[13] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Mesir: Mustafa, al-Babi
al-Halabi, 1933),h.
[14] Ibid.,h.132
[15] DR. Muhammad Fadlil Al-Jamali,
Konsep Pendidikan Qur’ani, (Ramadhani, t. th), h. 119
[16]file:///C:/Users/NURAINI%20HULA/Downloads/NilaiNilai%20Filosofis%20dalam%20Zakat.htm
Diakses pada 31 Maret 2017 Pukul 19.30
Komentar
Posting Komentar