TA’ABUDI DAN TA’AQQULI DALAM AYAT-AYAT AHKAM


TA’ABUDI DAN TA’AQQULI DALAM AYAT-AYAT AHKAM 

A.              PENDAHULUAN

Perkembangan hukum Islam seolah-olah  mengikuti perkembangan zaman, dengan seiring berkembanganya permasalahan-permasalahan yang semakin komplek. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah perkembangan pemikiran manusia itu sendiri yang selalu berkembang,  menciptakan teknologi yang semakin canggih yang terkadang akan mempuyai dua mata sisi yang tajam yang penggunanya tergantung pada subjek pelakunya yaitu dapat dipergunakan dalam hal positif untuk kemaslahatan atau malah sebaliknya dapat diguanak untuk melakukan kerusakan. Tentunya ini semua harus imbangi dengan pemahaman hukum Islam yang mana sebagai landasan agar tidak terjadinya  kerusakan diatas bumi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

 Al-Qur’an dan hadis sebagai, sebagai sumber utama hukum syariat memuat dua aspek dari din al-Islām, yaitu keyakinan dasar atau pokok-pokok agama (usul al-dỉn), dan hukum-hukum syariat atau cabang-cabang agama (furu al-dỉn).[1] Selaras dengan klasifikasi ini Abdul Wahhab Khallaf membagi kandungan Al-Qur’an menjadi tiga bagian besar: aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah.[2] Aqida berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan etika atau akhlak. Sedangkan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang timbul dari ucapan dan perbuatan manusia.

Materi hukum Islam itu sendiri dibagi menjadi dua bagian besar: ibadah dan muamalah.[3] Ibadah berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia dengan Tuhannya, sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya. Sedangkan muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia atau dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.[4] Dalam kaitan ini Al-Qur’an hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan penjelasannya oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya.

Aturan-aturan hukum syariat tersebut pada hakekatnya harus ditaati oleh umat Islam. Dalam mentaati dan melaksanakan aturan hukum syariat tersebut tidak selamanya didasarkan kepada pengetahuan manusia terhadap tujuan hukum itu. Artinya, bahwa akal manusia terkadang tidak mampu memahami alasan dan tujuan suatu aturan hukum syariat yang harus ditaati dan dilaksanakannya. Ketaatan manusia kepada aturan hukum syariat (Islam) tersebut tidak selamanya didasarkan kepada kemaslahatan yang akan diperoleh manusia dalam kehidupan di dunia. Walaupun sebenarnya aturan hukum syariat tersebut pasti mengandung kemaslahatan bagi manusia, hanya saja manusia belum memahaminya.

Karena itulah menurut sebagian ulama, bahwa berdasarkan alasan-alasan dan tujuan-tujuan hukum, hukum syariat dapat dibagi menjadi empat kategori, antara lain:

1.     Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya dapat diketahui tanpa membutuhkan keahlian khusus, seperti membantu orang yang membutuhkan adalah sangat dianjurkan, membunuh adalah haram, membayar zakat adalah wajib.

2.     Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya telah diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadis seperti minuman khamar itu haram, karena menjadi salah satu penyebab utama kejahatan karena saat mabuk tidak bisa mengendalikan dirinya, riba itu dilarang, karena mengarah kepada kehancuran masyarakat miskin dan seluruh kekayaan hanya akan berputar di sekitar orang-orang kaya.

3.     Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun cakrawala pikir manusia dapat memahami tujuan dan manfaat dari hukum-hukum tersebut. Misalnya khitan, yang menurut kedokteran dapat mencegah munculnya kanker pada penis.

4.     Hukum-hukum yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, serta pengetahuan manusia pun tidak mampu mengetahuinya. Misalnya, salat zuhur, asar, isya masing-masing empat rakaat sedangkan magrib dan subuh masing-masing tiga rakaat dan dua rakaat.[5]

Permasalahannya adalah apakah alasan-alasan hukum syariat yang telah ditemukan oleh pengetahuan manusia itu bisa dianggap sebagai alasan sebenarnya diberlakukannya hukum-hukum tersebut? Apakah ketaatan manusia terhadap ketentuan hukum syariat tidak didasarkan kepada alasan rasional dari hukum syariat itu, dan lebih kepada ketaatan, ketundukan, kepatuhan terhadap Allah SWT semata? Jika memang demikian, apakah hal itu berlaku dalam bidang ibadah dan muamalah?

 

B.              PENGERTIAN TA’ABBUDI DAN TA’AQQULI

Ta’abbudi berasal dari bahasa Arab, sebagai masdar dari fi’il ta’abbada-yata’abbadu-ta’abbudan yang berarti penghambaan diri, ketundukan dan kerendahan diri kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah SWT[6]. Secara terminologi, ta’abbudiadalah ketentuan hukum di dalam nas (Al-Qur’an dan Sunnah) yang harus diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan ta’aqquli, adalah ketentuan nas yang masih bisa diinterpretasi.[7]

Menurut al-Syatibi, ta’abbudi adalah “hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syảri,”[8] atau “sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah.”[9] Sedangkan menurut Muhammad Salam Madkur, ta’abbudi adalah semata-mata mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari al-Qur’an maupun Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.[10]

Dengan demikian dalam masalah ta’abbudi, manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas yang bersifat ta’abbudi, adalah gair ma’qul al-ma’na, atau mutlak, tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi (gairu ma’qulah al-ma’na), dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan.[11] Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah kaifiyat (tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga manusia tidak bisa merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah disyariatkan.

Makna ta’abbudi di atas pada dasarnya selaras dengan hadis Nabi saw bahwa: man ‘amila ‘amalan laysa ‘alaihi amrunả fahuwa raddun[12] (‘barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka dia tertolak’). Demikian juga diisyaratkan dalam QS. Al-Bayyinah (98): 5 sebagai berikut:

!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ  

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”[13]

 

Sehingga muncul kaidah fiqh bahwa:

Artinya: “Pada dasarnya suatu ibadah batal (tidak sah) dilakukan sehingga ada dalil yang memerintahkannya”.[14]

 

Dari beberapa nas yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam bidang ibadah, manusia bersifat pasif dalam arti tidak bisa menetapkan sesuatu ibadah hanya berdasarkan nalar rasionya. Suatu ibadah harus didasarkan kepada wahyu atau nas baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai ketentuan ibadah dalam syariat Islam, yang pada umumnya tidak bisa diketahui rahasianya, seperti salat zuhur, asar, dan isya masing-masing empat rakaat, salat magrib tiga rakaat dan salat subuh hanya dua rakaat. Mengapa jumlah rakaatnya berbeda-beda? Akal manusia belum, bahkan tidak akan mampu mengetahui alasan rasional dari jumlah rakaat masing-masing salat lima waktu tersebut.

Memang secara rasio ada sebagian ibadah yang dapat diketahui rahasia dan manfaatnya bagi manusia, seperti zakat, puasa. Jadi, dalam ibadah terkandung juga nilai rasional walaupun dengan kadar yang lebih kecil dibanding dengan nilai rasional pada ta’aqquli. Dalam ibadah, unsur ta’abbudi lebih dominan dari unsur ta’aqquli.Jelasnya, dasar pelaksanaan ketentuan hukum dalam ibadah, mahdah, lebih sebagai tuntutan ibadah semata (li al-ta’abbud) tanpa harus bertolak dari dimensi maknawi (ta’aqqulat)nya.[15]

Sedangkan ta’aqquli berasal dari fi’il ta’aqqala- yata’aqqalu- ta’aqqulan, yang berarti sesuatu yang masuk akal (rasional).[16] Jadi, ta’aqquli adalah bersifat ma’qul al-ma’na, yaitu hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan, baik sebab maupun illat ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah SWT, baik bagi bagi individu maupun publik.[17]

Jadi, nas-nas yang bersifat ta’aqquli adalah ma’qul al-ma’na, atau relatif, sehingga membutuhkan pemikiran dalam pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman dan tempat.[18]

Perbedaan konsep ta’abbudi dan ta’aqquli tersebut hanya terletak pada kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun hikmah-hikmah hukum yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum yang ma’qul al-ma’na sendiri tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi dan ta’aqquli dalam arti luas.[19]

Makna ta’abbudi dan ta’aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang harus patuh kepada-Nya. Untuk itu manusia harus melakukan perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ibadah yang fungsi utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadah yang biasa disebut mahdah. Kedua, muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan kemaslahatan hidup manusia. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), maka yang pertama tadi bersifat ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haqq Allah).[20]

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (Al-Qur’an dan Hadis) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan rasional, sehingga bersifat mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa mengalami perluasan seperti objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di zaman klasik, sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Karena itu dalam ibadah tetap terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia (dimensi ta’aqqulat).

Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam ketentuan nas (Al-Qur’an dan Hadis) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia selaras dengan kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga bersifat relatif sesuai perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian hukum-hukum yang bersifat ta’aqquli tetap mengandung dimensi ibadah. Karena itu muamalah tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi.

 

 

 

C.              URGENSI AYAT TA’AQQULI DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Untuk kemaslahatan dunia, syariat dibangun di atas dua hal, pertama kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan kedua, peluang untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat itu.[21] Baginya, bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan segala nikmat Allah sesuai keredaan-Nya selaku sumber nikmat. Kesyukuran atas nikmat itu adalah hak Allah atas manusia, sedangkan hak manusia dari kesyukurannya ialah kehidupan sejahtera dan makmur di dunia, pahala di akherat dan kebebasan dari siksaan neraka.[22]

Posisi eksistensi manusia di antara kewajiban bersyukur dengan hak memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera di dunia, menuntut manusia menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua bentuk: ta’abbudat (kepatuhan beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulat (perbuatan muamalah yang sifatnya rasional).

Ibadat, karena bersifat ta’abbud murni, yang makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, maka manusia harus menerima apa saja yang telah ditetapkan syariat. Pelaksanaan ibadat yang berbeda dari tata cara yang ditentukan oleh syariat bukan ibadat lagi.[23]Batasan-batasan syariat menyangkut taharah dan salat misalnya, mutlak ditaati tanpa lebih dahulu memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa diperintahkan. Akal tidak perlu mempertanyakan mengapa tayammum yang menurut pandangan mata tidak mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudu dan mandi untuk bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah kepatuhan pada perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kepatuhan itulah yang menjadi illat bagi diperintahkannya suatu ibadat, tidak lebih dan tudak kurang dari itu.[24] Walaupun memang di balik kepatuhan kepada Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi manusia juga.

Berbeda halnya muamalah yang disebut al-Syatibi sebagai kebiasaan universal (‘adat) yang maknanya dapat dipahami oleh nalar, maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar. Illat dari muamalah dapat dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di dalamnya bagi kehidupan manusia. Karena itu sesuatu dilarang jika tidak terdapat maslahat di dalamnya dan dibolehkan bahkan diperintahkan jika di dalamnya terdapat maslahat. Dalam  muamalah yang maknanya dapat dirasionalkan disebutkan oleh syariat dalam beberapa dalil dalam Q.S. Al-Baqarah: 188 yaitu:

Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ  

Artinya: “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.

 

Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. Al-Maidah: 91yaitu:

$yJ¯RÎ) ߃̍ムß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur Îû ̍÷Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur öNä.£ÝÁtƒur `tã ̍ø.ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZB ÇÒÊÈ  

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

 

Nash-nash tersebut menunjukkan secara jelas bahwa dalam soal adat (muamalah), syariat tetap mempertimbangkan ada tidaknya maslahat yang dikandung perbuatan yang dapat ditangkap oleh nalar.

Keterangan di atas menunjukkan perbedaan yang tajam dan jelas antara soal ibadat dan muamalah. Makna yang terkandung dalam semua ibadat, terutama ibadah mahdah, tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu, yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh kepatuhan. Sedangkan makna yang terkandung dalam muamalah dapat diketahui oleh akal, bahkan menurut al-Syatibi, sebelum datang syariat, akal sudah dapat mengetahui kemaslahatan yang terkandung dalam berbagai bentuk dan jenis muamalah.[25] Dengan demikian, fungsi syariat dalam soal ibadat berbeda dengan fungsi syariat dalam soal muamalah.

Dalam soal ibadat, fungsi syari’at sebagai mubtadi’(pembentuk) dan munsyi’ (pencipta) hukum. Sedangkan dalam soal muamalah yang maknanya sudah dapat diketahui oleh akal, syariat hanya berfungsi sebagaib mutammimah (penyempurna). Fungsi syariat sebagai mubtadi’ dan munsyi’ dalam soal ibadat disebabkan, karena akal manusia tidak memiliki kewenangan menentukan bentuk-bentuk ibadah. Karena itu, sebelum datangnya syariat Islam, pada mulanya orang hanya dibolehkan berpegang pada bentuk-bentuk ibadat yang terdapat dalam syariat sebelumnya. Nanti setelah datang syariat Islam, barulah tata cara peribadatan mengacu kepada ketentuan syariat Islam yang disampaikan lewat Al-Qur’an dan sunnah.

Perbedaan antara fungsi syariat sebagai mutammimah dalam soal muamalah dan sebagai munsyi’ dalam soal ibadat tampak juga dalam metode perintah syariat itu sendiri. Menurut al-Syatibi, pada umumnya perintah menyangkut muamalah yang keuntungannya dapat dirasakan langsung oleh manusia, tidak menggunakan istilah wajib. Hal ini disebabkan adanya tabiat pada diri manusia yang mendorongnya secara alami unuk memperoleh kebutuhannya, sehingga dengan sendirinya manusia merasa perlu melaksanakan perintah itu meskipun tidak ditegaskan sebagai kewajiban. Tabiat yang mendorong manusia itu adalah berdasar pada pengetahuan manusia mengenai kemaslahatan yang dapat diraihnya dari suatu muamalah. Misanya soal keluarga dan perkawinan, perumahan, sandang, jual beli dan sewa menyewa, telah diketahui kegunaannya oleh manusia, sebelum datang perintah syariat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh yang menyangkut kemaslaahatan manusia adalah wajib  secara universal (kulli).

 Dalam penerapan konsep ta’abbdi dan ta’aqquli tersebut, perbuatan manusia terbagi dalam tiga macam. Pertama, perbuatan yang di dalamnya hanya terdapat hak Allah saja, yang dengan sendirinya bersifat ta’abbud murni, yaitu semua ibadat. Kedua, perbuatan yang di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba bersama-sama, tetapi bobot hak Allah lebih besar. Misalnya soal pemeliharaan jiwa, walaupun kelestarian hidup manusia merupakan hak asasi manusia, hak tersebut berada di tangan Allah. Karena itulah dilarang membunuh orang lain dan bunuh diri atau meminta bantuan tenaga medis (dokter) mengakhiri hidupnya sendiri yang dalam dunia kedokteraan modern dikenal dengan euthanasia.[26] Ketiga, perbuatan yang di dalamnya terdapat hak hamba dan hak Allah, tetapi bobot hak hamba lebih besar. Dalam hal ini akal sangat besar peranannya untuk memahami arti kemaslahatan yang dikandungnya, misalnya kemaslahatan yang terkandung dalam perdagangan.

 

D.              CONTOH FIQIH SEBAGAI PENGEMBANGAN AYAT-AYAT MA’QUL AL MA’NA.

Hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah nas yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding nas yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, bahwa hukum Islam, ada yang masuk dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian lainnya masuk dalam wilayah ta’aqquli.

Objek ta’abbudi dan ta’qquli menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah[27](murni) dan hal-hal yang daruriyyah termasuk dalam objek ta’abbudi.[28] Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas dan hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nas (Al-Qur’an, dan Hadis).

Demikian juga hukum-hukum daruriyyah yang merupakan kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima aspek daruriyyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.[29] Semua ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta’abbudi, tidak membutuhkan interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.

Di samping itu beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta’abbudi, di antaranya ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (QS. 2: 229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu seorang isteri yang ditalak suaminy (QS. 2: 228, dan 234; QS 65: 4), sanksi kaffarat terhadap pelaku zihar dan ila’ (QS. 2: 226; 58: 2-4). Semua ini dijelaskan Allah secara gamblang dan terperinci. Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan ijtihad.

Dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan pandangan sahabat tersebut melahir-kan aliran rasionalis dan aliran literalis dalam sejarah pembentukan hukum Islam.[30] Aliran rasionalis memandang bahwa ketentuan nas yang bersifat ta’abbudi sedikit sekali dan ijtihad dengan metode qiyas atau istihsan harus dikembangkan. Sedangkan aliran tekstualis memandang, bahwa pada dasarnya nas-nas tersebut bersifat ta’abbudi, kecuali ada petunjuk yang menyatakan lain. Misalnya, ahlul ra’yu berpendapat bahwa membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak tujuh kali, sekali di antaranya dengan tanah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, adalah ma’qul al-ma’na. Sebab menurut mereka, illat (alasan) pembasuhan tersebut adalah karena najis dalam mulut anjing, dengan tujuan agar najisnya hilang dari bejana. Jika dengan selain tanah dan disiram tidak sampai tujuh kali sudah membersihkan bejana, maka sudah mencukupi. Pembasuhan dengan air dan tanah bukanlah satu-satunya alternatif.

Sedangkan al-Zuhri, imam Malik, imam Syafi’i dan Daud al-Zahiri berpendapat, bahwa masalah ini adalah ta’abbudi dan tidak dapat diijtihadkan. Karenanya pembasuhan bejana itu harus tetap 7 kali dan sekali di antaranya dengan tanah, serta tidak dapat diganti dengan yang lain.[31]Sebaliknya, masalah muamalah merupakan objek ta’aqquli yang paling dominan. Dalam kaitan ini ketentuan dalam nas meskipun tegas masih dapat diijtihadkan. Seperti sebagian besar ulama berpendapat, kesaksian 2 orang laki-laki atau seorang laki-laki dan 2 orang perempuan dalam transaksi bisnis sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Baqarah: 282, bukanlah hal yang mutlak. Allah SWT berfirman:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

 

Dalam hal ini yang ditekankan adalah tercapainya kebenaran dan ditegakkannya bisnis secara baik dan jujur serta terhindar dari tipu daya.

Dari pembahasan di atas dapat dikemukakan, bahwa objek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, sedangkan objek ta’aqquli adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah yang dilakukan di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan sesama manusia. Ketika seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah melakukan komunikasi dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan harmonis melalui pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).

 

E.              KESIMPULAN

Ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (Al-Qur’an dan hadis) dalam bidang ibadah yang harus diterima dan ditaati sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, walaupun tanpa mengetahui alasan dan tujuan secara rasionalnya. Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia. Ta’abbudi adalah ketaatan mutlak, bersifat non rasional, namun memiliki nilaita’aqquli (kemaslahatan bagi manusia, baik yang telah maupun belum diketahui). Sedangkan ta’aqquli adalah ketaatan terhadap aturan bersifat rasional dan mengandung maslahat yang umumnya telah diketahui manusia, namun demikian mengandung unsur ta’abbudi.

Obyek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, ketentuan-ketentuan yang bersifat daruriyyat,dan qat’i yang berkaitan dengan ibadah, serta ketentuan akhlak yang bersifat permanen, sedangkan objek ta’aqquli, adalah masalah muamalah, termasuk juga nas-nas zanni yang tidak berkaitan dengan ibadah.

Konsep ta’abbudi dan ta’aqquli mempunyai implikasi terhadap perkembangan hukum Islam. Meskipun konsep ta’abbudi bersifat statis, sehingga tidak terbuka pintu ijtihad untuk merubah tata cara ibadah, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah mahdah tertentu, namun dari sisi perkembangan hukum Islam masih bisa dilakukan perluasan pada “alat” dari suatu ta’abbudi, serta objek suatu ibadah mahdah. Sedangkan dalam ta’aqquli sangat berpeluang mengalami perluasan melalui ijtihad. Dengan demikian konsep ta’aqquli memberikan kontribusi yang lebih besar ketimbang konsep ta’abbuditerhadap perkembangan hukum Islam. Keberadaan konsep ta’abbudi adalah untuk menjaga kemurnian ibadah dalam Islam, sehingga hukum Islam akan berkembang secara dinamis.


 

DAFTAR PUSTAKA

al-Syatibi , Abu Ishaq, al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III; Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M).

Dahlan , Abdul Azis, et al.(ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003)

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003).

Departemen Agama R.I,Al-Qur’an dan Terjemahnya,  (Jakarta: CV Indah Press, 2002).

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Fathurrahman dan Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986).

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Usul al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr,)

Madkur, Muhammad Salam, Madkhal al-Fiqh al-Islảm, (Kairo: Dar al-Quniyah, 1964).

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Munzir, Ibn, Lisan al-Arab, Jilid IV (Mesir:Dar al-Ma’arifah,).

Rahman, Jalaluddin, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, (Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997).

Rizvi, Sayyid Muhammad, “Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat,” dalamJurnal Al-Huda, Vol. 2 No. 5, 2002.

Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).

Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008).

Syaukani, Imam,Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006).

Zahra, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Ushul Fiqih(Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).


[1] Sayyid Muhammad Rizvi, “Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat”, dalam Jurnal Al-Huda,(Vol. 2 No. 5, 2002). Hal  57

[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr). Hal 32

[3] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Hal  52

[4] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Hal  15

[5] Sayyid Muhammad Rizvi, Op.Cit. Hal 59-61

[6] Ibn Munzir, Lisan al-Arab, Jilid IV (Mesir: Dar al-Ma’arifah). Hal 262

[7] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003). Hal 1723

[8] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III; Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003). Hal 304

[9] Ibid. Hal 315

[10] Muhammad Salam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islảm, (Kairo: Dar al-Quniyah, 1964). Hal 18

[11] Fatrurrahman Djamil, Op.Cit. Hal 52

[12] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr). Hal 167

[13] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002). Hal  907

[14] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). Hal 162

[15] Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit. Hal 228

[16] Ibn Munzir, Op.Cit. Hal 3046

[17] Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986). Hal 362

[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003). Hal 1723

[19] Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008). Hal 156.

[20] Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit. Hal 215

[21] Jalaluddin Rahman, Op.Cit. Hal 321

[22]  Ibid. Hal 323

[23] Ibid. Hal 300

[24] Ibid. Hal 308

[25] Jalaluddin Rahman, Op.Cit. Hal 307

[26] Setiawan Budi utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Hal 176-177.

[27] Jalaluddin Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, (Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997). Hal 6

[28] Abdul Azis Dahlan (ed.), Op.Cit. Hal 1723

[29] Muhammad Abu Zahra, Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Ushul Fiqih (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 200). Hal 484

[30] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). Hal 129-130

[31] Abdul Azis Dahlan (ed.), Op.Cit. Hal. 1724

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASPEK-ASPEK FILOSOFIS ZAKAT DALAM AL-SUNNAH