TA’ABUDI DAN TA’AQQULI DALAM AYAT-AYAT AHKAM
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan hukum Islam seolah-olah
mengikuti perkembangan zaman, dengan
seiring berkembanganya permasalahan-permasalahan yang semakin komplek. Hal ini
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah perkembangan pemikiran
manusia itu sendiri yang selalu berkembang, menciptakan teknologi yang semakin canggih
yang terkadang akan mempuyai dua mata sisi yang tajam yang penggunanya
tergantung pada subjek pelakunya yaitu dapat dipergunakan dalam hal positif
untuk kemaslahatan atau malah sebaliknya dapat diguanak untuk melakukan
kerusakan. Tentunya ini semua harus imbangi dengan pemahaman hukum Islam yang
mana sebagai landasan agar tidak terjadinya
kerusakan diatas bumi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Al-Qur’an dan hadis sebagai, sebagai sumber
utama hukum syariat memuat dua aspek dari din al-Islām, yaitu keyakinan
dasar atau pokok-pokok agama (usul al-dỉn), dan hukum-hukum syariat atau
cabang-cabang agama (furu al-dỉn).[1] Selaras
dengan klasifikasi ini Abdul Wahhab Khallaf membagi kandungan Al-Qur’an menjadi
tiga bagian besar: aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah.[2]
Aqida berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan
dengan etika atau akhlak. Sedangkan amaliyah berkaitan dengan
aspek-aspek hukum yang timbul dari ucapan dan perbuatan manusia.
Materi hukum Islam itu sendiri
dibagi menjadi dua bagian besar: ibadah dan muamalah.[3] Ibadah
berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia dengan Tuhannya,
sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya. Sedangkan
muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia atau
dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.[4] Dalam
kaitan ini Al-Qur’an hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan
penjelasannya oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya.
Aturan-aturan hukum syariat
tersebut pada hakekatnya harus ditaati oleh umat Islam. Dalam mentaati dan
melaksanakan aturan hukum syariat tersebut tidak selamanya didasarkan kepada
pengetahuan manusia terhadap tujuan hukum itu. Artinya, bahwa akal manusia
terkadang tidak mampu memahami alasan dan tujuan suatu aturan hukum syariat
yang harus ditaati dan dilaksanakannya. Ketaatan manusia kepada aturan hukum
syariat (Islam) tersebut tidak selamanya didasarkan kepada kemaslahatan yang
akan diperoleh manusia dalam kehidupan di dunia. Walaupun sebenarnya aturan
hukum syariat tersebut pasti mengandung kemaslahatan bagi manusia, hanya saja
manusia belum memahaminya.
Karena itulah menurut sebagian
ulama, bahwa berdasarkan alasan-alasan dan tujuan-tujuan hukum, hukum syariat
dapat dibagi menjadi empat kategori, antara lain:
1. Hukum-hukum
yang alasan dan tujuannya dapat diketahui tanpa membutuhkan keahlian khusus,
seperti membantu orang yang membutuhkan adalah sangat dianjurkan, membunuh
adalah haram, membayar zakat adalah wajib.
2. Hukum-hukum
yang alasan dan tujuannya telah diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadis seperti
minuman khamar itu haram, karena menjadi salah satu penyebab utama kejahatan
karena saat mabuk tidak bisa mengendalikan dirinya, riba itu dilarang, karena
mengarah kepada kehancuran masyarakat miskin dan seluruh kekayaan hanya akan
berputar di sekitar orang-orang kaya.
3. Hukum-hukum
yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun
cakrawala pikir manusia dapat memahami tujuan dan manfaat dari hukum-hukum tersebut.
Misalnya khitan, yang menurut kedokteran dapat mencegah munculnya kanker
pada penis.
4. Hukum-hukum
yang alasan dan tujuannya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, serta
pengetahuan manusia pun tidak mampu mengetahuinya. Misalnya, salat zuhur, asar,
isya masing-masing empat rakaat sedangkan magrib dan subuh masing-masing tiga
rakaat dan dua rakaat.[5]
Permasalahannya adalah apakah
alasan-alasan hukum syariat yang telah ditemukan oleh pengetahuan manusia itu
bisa dianggap sebagai alasan sebenarnya diberlakukannya hukum-hukum tersebut?
Apakah ketaatan manusia terhadap ketentuan hukum syariat tidak didasarkan
kepada alasan rasional dari hukum syariat itu, dan lebih kepada ketaatan,
ketundukan, kepatuhan terhadap Allah SWT semata? Jika memang demikian, apakah
hal itu berlaku dalam bidang ibadah dan muamalah?
B.
PENGERTIAN TA’ABBUDI DAN
TA’AQQULI
Ta’abbudi berasal
dari bahasa Arab, sebagai masdar dari fi’il ta’abbada-yata’abbadu-ta’abbudan
yang berarti penghambaan diri, ketundukan dan kerendahan diri kepatuhan,
penyembahan, ketaatan kepada Allah SWT[6].
Secara terminologi, ta’abbudiadalah ketentuan hukum di dalam nas (Al-Qur’an
dan Sunnah) yang harus diterima apa adanya dan tidak dapat dinalar secara akal.
Sedangkan ta’aqquli, adalah ketentuan nas yang masih bisa
diinterpretasi.[7]
Menurut al-Syatibi, ta’abbudi
adalah “hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syảri,”[8] atau
“sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah.”[9] Sedangkan
menurut Muhammad Salam Madkur, ta’abbudi adalah semata-mata mengabdi
kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dari al-Qur’an maupun
Sunah Rasul, tidak berubah, mengurangi atau menambahnya.[10]
Dengan demikian dalam masalah ta’abbudi,
manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya
sesuai dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan nas
yang bersifat ta’abbudi, adalah gair ma’qul al-ma’na, atau mutlak,
tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam
bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi (gairu ma’qulah al-ma’na),
dimana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyariatkan.[11]
Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk merubah kaifiyat
(tata cara) pelaksanaan ibadah mahdah, berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga
manusia tidak bisa merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik
salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah
disyariatkan.
Makna ta’abbudi di atas
pada dasarnya selaras dengan hadis Nabi saw bahwa: man ‘amila ‘amalan laysa
‘alaihi amrunả fahuwa raddun[12]
(‘barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami
perintahkan, maka dia tertolak’). Demikian juga diisyaratkan dalam QS.
Al-Bayyinah (98): 5 sebagai berikut:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus”[13]
Sehingga muncul kaidah fiqh
bahwa:
Artinya: “Pada dasarnya suatu
ibadah batal (tidak sah) dilakukan sehingga ada dalil yang
memerintahkannya”.[14]
Dari beberapa nas yang
dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa dalam bidang ibadah, manusia bersifat
pasif dalam arti tidak bisa menetapkan sesuatu ibadah hanya berdasarkan nalar
rasionya. Suatu ibadah harus didasarkan kepada wahyu atau nas baik Al-Qur’an
maupun hadis Nabi saw. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai ketentuan ibadah
dalam syariat Islam, yang pada umumnya tidak bisa diketahui rahasianya, seperti
salat zuhur, asar, dan isya masing-masing empat rakaat, salat magrib tiga
rakaat dan salat subuh hanya dua rakaat. Mengapa jumlah rakaatnya berbeda-beda?
Akal manusia belum, bahkan tidak akan mampu mengetahui alasan rasional dari
jumlah rakaat masing-masing salat lima waktu tersebut.
Memang secara rasio ada sebagian
ibadah yang dapat diketahui rahasia dan manfaatnya bagi manusia, seperti zakat,
puasa. Jadi, dalam ibadah terkandung juga nilai rasional walaupun dengan kadar
yang lebih kecil dibanding dengan nilai rasional pada ta’aqquli. Dalam
ibadah, unsur ta’abbudi lebih dominan dari unsur ta’aqquli.Jelasnya,
dasar pelaksanaan ketentuan hukum dalam ibadah, mahdah, lebih sebagai
tuntutan ibadah semata (li al-ta’abbud) tanpa harus bertolak dari
dimensi maknawi (ta’aqqulat)nya.[15]
Sedangkan ta’aqquli berasal
dari fi’il ta’aqqala- yata’aqqalu- ta’aqqulan, yang berarti sesuatu yang
masuk akal (rasional).[16]
Jadi, ta’aqquli adalah bersifat ma’qul al-ma’na, yaitu
hukum-hukum yang memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan,
baik sebab maupun illat ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar
manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah SWT,
baik bagi bagi individu maupun publik.[17]
Jadi, nas-nas yang bersifat ta’aqquli
adalah ma’qul al-ma’na, atau relatif, sehingga membutuhkan pemikiran
dalam pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya dapat beradaptasi dengan
perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman dan tempat.[18]
Perbedaan konsep ta’abbudi
dan ta’aqquli tersebut hanya terletak pada kemungkinan akal manusia
dapat menalar makna maupun hikmah-hikmah hukum yang terkandung di dalamnya. Pada
pada hakekatnya, hukum yang ma’qul al-ma’na sendiri tidak terlepas dari
kerangka ta’abbudi dan ta’aqquli dalam arti luas.[19]
Makna ta’abbudi dan
ta’aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan
sebagai hamba yang harus patuh kepada-Nya. Untuk itu manusia harus melakukan
perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada
tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ibadah yang fungsi
utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala
konsekuensinya berupa ibadah yang biasa disebut mahdah. Kedua,
muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan kemaslahatan
hidup manusia. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh
nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), maka yang pertama tadi bersifat
ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haqq Allah).[20]
Berdasarkan uraian di atas dapat
dikatakan, bahwa ta’abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau
ketentuan nas (Al-Qur’an dan Hadis) yang harus ditaati oleh seorang hamba
sebagai wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena
alasan rasional, sehingga bersifat mutlak. Namun dalam ibadah tertentu,
objeknya bisa mengalami perluasan seperti objek zakat bisa diperluas objek
zakat yang telah ada di zaman klasik, sesuai dengan perkembangan zaman dan
peradaban manusia. Karena itu dalam ibadah tetap terkandung unsur rasio
serta dimensi kemaslahatan bagi manusia (dimensi ta’aqqulat).
Sedangkan ta’aqquli adalah
segala ketentuan hukum Islam ketentuan nas (Al-Qur’an dan Hadis) yang diterima
dan ditaati oleh seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan
nalar rasio manusia selaras dengan kemaslahatan dalam kehidupan manusia di
dunia. Sehingga bersifat relatif sesuai perubahan zaman, tempat dan situasi.
Namun demikian hukum-hukum yang bersifat ta’aqquli tetap mengandung
dimensi ibadah. Karena itu muamalah tidak terlepas dari kerangka ta’abbudi.
C.
URGENSI AYAT TA’AQQULI DALAM
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Untuk kemaslahatan dunia, syariat
dibangun di atas dua hal, pertama kewajiban manusia bersyukur atas
nikmat yang diberikan Allah dan kedua, peluang untuk merasakan kelezatan
dari segala nikmat itu.[21] Baginya,
bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan segala nikmat Allah sesuai
keredaan-Nya selaku sumber nikmat. Kesyukuran atas nikmat itu adalah hak Allah
atas manusia, sedangkan hak manusia dari kesyukurannya ialah kehidupan
sejahtera dan makmur di dunia, pahala di akherat dan kebebasan dari siksaan
neraka.[22]
Posisi eksistensi manusia di
antara kewajiban bersyukur dengan hak memperoleh kehidupan yang layak dan
sejahtera di dunia, menuntut manusia menunaikan hukum-hukum syariat dalam dua
bentuk: ta’abbudat (kepatuhan beribadah kepada Tuhan), dan ta’aqqulat
(perbuatan muamalah yang sifatnya rasional).
Ibadat, karena bersifat ta’abbud
murni, yang makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat
dinalar, maka manusia harus menerima apa saja yang telah ditetapkan syariat.
Pelaksanaan ibadat yang berbeda dari tata cara yang ditentukan oleh syariat
bukan ibadat lagi.[23]Batasan-batasan
syariat menyangkut taharah dan salat misalnya, mutlak ditaati tanpa
lebih dahulu memikirkan mengapa caranya demikian dan mengapa diperintahkan.
Akal tidak perlu mempertanyakan mengapa tayammum yang menurut pandangan mata
tidak mengandung arti kebersihan, dapat menjadi pengganti wudu dan mandi untuk
bersuci. Hal yang dapat dipahami dari soal ibadat hanyalah kepatuhan pada
perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kepatuhan
itulah yang menjadi illat bagi diperintahkannya suatu ibadat, tidak lebih dan
tudak kurang dari itu.[24] Walaupun
memang di balik kepatuhan kepada Tuhan itu terdapat kemaslahatan bagi manusia
juga.
Berbeda halnya muamalah yang
disebut al-Syatibi sebagai kebiasaan universal (‘adat) yang maknanya
dapat dipahami oleh nalar, maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan
nalar. Illat dari muamalah dapat dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak
ada maslahat di dalamnya bagi kehidupan manusia. Karena itu sesuatu dilarang
jika tidak terdapat maslahat di dalamnya dan dibolehkan bahkan diperintahkan
jika di dalamnya terdapat maslahat. Dalam muamalah yang maknanya dapat dirasionalkan
disebutkan oleh syariat dalam beberapa dalil dalam Q.S. Al-Baqarah: 188 yaitu:
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Artinya: “dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.
Allah SWT juga berfirman dalam
Q.S. Al-Maidah: 91yaitu:
$yJ¯RÎ) ßÌã ß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qã ãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$Òøót7ø9$#ur Îû Ì÷Ksø:$# ÎÅ£÷yJø9$#ur öNä.£ÝÁtur `tã Ìø.Ï «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZB ÇÒÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”.
Nash-nash tersebut menunjukkan
secara jelas bahwa dalam soal adat (muamalah), syariat tetap mempertimbangkan
ada tidaknya maslahat yang dikandung perbuatan yang dapat ditangkap oleh nalar.
Keterangan di atas menunjukkan
perbedaan yang tajam dan jelas antara soal ibadat dan muamalah. Makna yang terkandung
dalam semua ibadat, terutama ibadah mahdah, tidak dapat diketahui
kecuali dengan informasi wahyu, yang harus diterima dan dilaksanakan oleh
manusia dengan penuh kepatuhan. Sedangkan makna yang terkandung dalam muamalah
dapat diketahui oleh akal, bahkan menurut al-Syatibi, sebelum datang syariat,
akal sudah dapat mengetahui kemaslahatan yang terkandung dalam berbagai bentuk
dan jenis muamalah.[25] Dengan
demikian, fungsi syariat dalam soal ibadat berbeda dengan fungsi syariat dalam
soal muamalah.
Dalam soal ibadat, fungsi
syari’at sebagai mubtadi’(pembentuk) dan munsyi’ (pencipta)
hukum. Sedangkan dalam soal muamalah yang maknanya sudah dapat diketahui oleh
akal, syariat hanya berfungsi sebagaib mutammimah (penyempurna). Fungsi
syariat sebagai mubtadi’ dan munsyi’ dalam soal ibadat
disebabkan, karena akal manusia tidak memiliki kewenangan menentukan
bentuk-bentuk ibadah. Karena itu, sebelum datangnya syariat Islam, pada mulanya
orang hanya dibolehkan berpegang pada bentuk-bentuk ibadat yang terdapat dalam
syariat sebelumnya. Nanti setelah datang syariat Islam, barulah tata cara
peribadatan mengacu kepada ketentuan syariat Islam yang disampaikan lewat
Al-Qur’an dan sunnah.
Perbedaan antara fungsi syariat
sebagai mutammimah dalam soal muamalah dan sebagai munsyi’ dalam
soal ibadat tampak juga dalam metode perintah syariat itu sendiri. Menurut
al-Syatibi, pada umumnya perintah menyangkut muamalah yang keuntungannya dapat
dirasakan langsung oleh manusia, tidak menggunakan istilah wajib. Hal ini disebabkan
adanya tabiat pada diri manusia yang mendorongnya secara alami unuk memperoleh
kebutuhannya, sehingga dengan sendirinya manusia merasa perlu melaksanakan
perintah itu meskipun tidak ditegaskan sebagai kewajiban. Tabiat yang mendorong
manusia itu adalah berdasar pada pengetahuan manusia mengenai kemaslahatan yang
dapat diraihnya dari suatu muamalah. Misanya soal keluarga dan perkawinan,
perumahan, sandang, jual beli dan sewa menyewa, telah diketahui kegunaannya
oleh manusia, sebelum datang perintah syariat. Meskipun demikian, pada dasarnya
seluruh yang menyangkut kemaslaahatan manusia adalah wajib secara
universal (kulli).
Dalam penerapan konsep ta’abbdi dan ta’aqquli
tersebut, perbuatan manusia terbagi dalam tiga macam. Pertama, perbuatan
yang di dalamnya hanya terdapat hak Allah saja, yang dengan sendirinya bersifat
ta’abbud murni, yaitu semua ibadat. Kedua, perbuatan yang di
dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba bersama-sama, tetapi bobot hak Allah
lebih besar. Misalnya soal pemeliharaan jiwa, walaupun kelestarian hidup
manusia merupakan hak asasi manusia, hak tersebut berada di tangan Allah.
Karena itulah dilarang membunuh orang lain dan bunuh diri atau meminta bantuan
tenaga medis (dokter) mengakhiri hidupnya sendiri yang dalam dunia kedokteraan
modern dikenal dengan euthanasia.[26] Ketiga,
perbuatan yang di dalamnya terdapat hak hamba dan hak Allah, tetapi bobot hak
hamba lebih besar. Dalam hal ini akal sangat besar peranannya untuk memahami
arti kemaslahatan yang dikandungnya, misalnya kemaslahatan yang terkandung
dalam perdagangan.
D.
CONTOH FIQIH SEBAGAI PENGEMBANGAN
AYAT-AYAT MA’QUL AL MA’NA.
Hukum Islam dalam garis besarnya
dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak
bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian
ulama, jumlah nas yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding
nas yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, bahwa hukum Islam, ada yang masuk
dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian lainnya masuk dalam wilayah ta’aqquli.
Objek ta’abbudi dan
ta’qquli menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh
telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah[27](murni)
dan hal-hal yang daruriyyah termasuk dalam objek ta’abbudi.[28]
Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas dan
hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat lima
waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu bersifat
mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nas (Al-Qur’an, dan
Hadis).
Demikian juga hukum-hukum daruriyyah
yang merupakan kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya
dan mengembangkan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada
lima aspek daruriyyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama,
jiwa, harta, akal, dan keturunan.[29] Semua
ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta’abbudi, tidak membutuhkan
interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Di samping itu beberapa aspek
dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyyah) juga ada yang termasuk
dalam kategori ta’abbudi, di antaranya ketentuan batas talak yang dapat
dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (QS. 2: 229), ketentuan tentang batas iddah
atau masa tunggu seorang isteri yang ditalak suaminy (QS. 2: 228, dan 234; QS
65: 4), sanksi kaffarat terhadap pelaku zihar dan ila’ (QS.
2: 226; 58: 2-4). Semua ini dijelaskan Allah secara gamblang dan terperinci.
Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan ijtihad.
Dalam perkembangan selanjutnya,
perbedaan pandangan sahabat tersebut melahir-kan aliran rasionalis dan aliran
literalis dalam sejarah pembentukan hukum Islam.[30] Aliran
rasionalis memandang bahwa ketentuan nas yang bersifat ta’abbudi sedikit
sekali dan ijtihad dengan metode qiyas atau istihsan harus dikembangkan.
Sedangkan aliran tekstualis memandang, bahwa pada dasarnya nas-nas tersebut
bersifat ta’abbudi, kecuali ada petunjuk yang menyatakan lain. Misalnya,
ahlul ra’yu berpendapat bahwa membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak
tujuh kali, sekali di antaranya dengan tanah sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, adalah ma’qul al-ma’na. Sebab
menurut mereka, illat (alasan) pembasuhan tersebut adalah karena najis dalam
mulut anjing, dengan tujuan agar najisnya hilang dari bejana. Jika dengan
selain tanah dan disiram tidak sampai tujuh kali sudah membersihkan bejana,
maka sudah mencukupi. Pembasuhan dengan air dan tanah bukanlah satu-satunya
alternatif.
Sedangkan al-Zuhri, imam Malik,
imam Syafi’i dan Daud al-Zahiri berpendapat, bahwa masalah ini adalah ta’abbudi
dan tidak dapat diijtihadkan. Karenanya pembasuhan bejana itu harus tetap 7
kali dan sekali di antaranya dengan tanah, serta tidak dapat diganti dengan
yang lain.[31]Sebaliknya,
masalah muamalah merupakan objek ta’aqquli yang paling dominan.
Dalam kaitan ini ketentuan dalam nas meskipun tegas masih dapat diijtihadkan.
Seperti sebagian besar ulama berpendapat, kesaksian 2 orang laki-laki atau seorang
laki-laki dan 2 orang perempuan dalam transaksi bisnis sebagaimana dijelaskan
dalam QS al-Baqarah: 282, bukanlah hal yang mutlak. Allah SWT berfirman:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dalam hal ini yang ditekankan
adalah tercapainya kebenaran dan ditegakkannya bisnis secara baik dan jujur
serta terhindar dari tipu daya.
Dari pembahasan di atas dapat
dikemukakan, bahwa objek ta’abbudi adalah ibadah mahdah, sedangkan
objek ta’aqquli adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu
ibadah yang dilakukan di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga
secara langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan sesama manusia. Ketika
seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah melakukan komunikasi
dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan harmonis melalui
pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).
E.
KESIMPULAN
Ta’abbudi adalah
segala ketentuan hukum Islam atau ketentuan nas (Al-Qur’an dan hadis) dalam
bidang ibadah yang harus diterima dan ditaati sebagai wujud penghambaan dan
kepatuhan kepada Allah semata, walaupun tanpa mengetahui alasan dan tujuan
secara rasionalnya. Sedangkan ta’aqquli adalah segala ketentuan hukum
Islam atau ketentuan nas (al-Qur’an dan hadis) yang diterima dan ditaati oleh
seorang hamba karena ada maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio
manusia. Ta’abbudi adalah ketaatan mutlak, bersifat non rasional, namun
memiliki nilaita’aqquli (kemaslahatan bagi manusia, baik yang telah maupun
belum diketahui). Sedangkan ta’aqquli adalah ketaatan terhadap aturan
bersifat rasional dan mengandung maslahat yang umumnya telah diketahui manusia,
namun demikian mengandung unsur ta’abbudi.
Obyek ta’abbudi adalah
ibadah mahdah, ketentuan-ketentuan yang bersifat daruriyyat,dan qat’i
yang berkaitan dengan ibadah, serta ketentuan akhlak yang bersifat permanen,
sedangkan objek ta’aqquli, adalah masalah muamalah, termasuk juga
nas-nas zanni yang tidak berkaitan dengan ibadah.
Konsep ta’abbudi dan ta’aqquli
mempunyai implikasi terhadap perkembangan hukum Islam. Meskipun konsep ta’abbudi
bersifat statis, sehingga tidak terbuka pintu ijtihad untuk merubah tata
cara ibadah, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah mahdah tertentu, namun
dari sisi perkembangan hukum Islam masih bisa dilakukan perluasan pada “alat”
dari suatu ta’abbudi, serta objek suatu ibadah mahdah. Sedangkan
dalam ta’aqquli sangat berpeluang mengalami perluasan melalui ijtihad.
Dengan demikian konsep ta’aqquli memberikan kontribusi yang lebih besar
ketimbang konsep ta’abbuditerhadap perkembangan hukum Islam. Keberadaan
konsep ta’abbudi adalah untuk menjaga kemurnian ibadah dalam Islam,
sehingga hukum Islam akan berkembang secara dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
al-Syatibi , Abu Ishaq, al-Muwafaqảt
fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III; Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah,
1424 H/2003 M).
Dahlan , Abdul Azis, et al.(ed.),
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2003)
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003).
Departemen Agama R.I,Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: CV Indah
Press, 2002).
Djamil, Fathurrahman, Filsafat
Hukum Islam, (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Fathurrahman dan Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986).
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu
Usul al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr,)
Madkur, Muhammad Salam, Madkhal al-Fiqh al-Islảm, (Kairo:
Dar al-Quniyah, 1964).
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah
dan Kaidah Asasi, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
Munzir, Ibn, Lisan al-Arab,
Jilid IV (Mesir:Dar al-Ma’arifah,).
Rahman, Jalaluddin, Islam Dalam
Perspektif Pemikiran Kontemporer, (Cet. I; Ujung Pandang: PT Umitoha
Ukhuwah Grafika, 1997).
Rizvi, Sayyid Muhammad,
“Kecenderungan Rasionalisasi dalam Hukum Syariat,” dalamJurnal Al-Huda, Vol.
2 No. 5, 2002.
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat
Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).
Syamsul Bahri, Metodologi
Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008).
Syaukani, Imam,Rekonstruksi
Epistimologi Hukum Islam dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Cet.
I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006).
[1] Sayyid Muhammad
Rizvi, “Kecenderungan Rasionalisasi dalam
Hukum Syariat”, dalam Jurnal
Al-Huda,(Vol. 2 No. 5, 2002). Hal
57
[2] Abdul Wahhab Khallaf,
Ilmu Usul al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr). Hal 32
[3] Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, (Cet. III; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Hal 52
[4] Ahmad Munif
Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002). Hal 15
[5] Sayyid Muhammad
Rizvi, Op.Cit. Hal 59-61
[6] Ibn
Munzir, Lisan al-Arab, Jilid IV (Mesir: Dar al-Ma’arifah). Hal 262
[7] Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 2003). Hal 1723
[8] Abu
Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqảt fi Usul al-Syari’ah, Jilid II (Cet. III;
Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003). Hal 304
[9] Ibid. Hal 315
[10] Muhammad
Salam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islảm, (Kairo: Dar al-Quniyah, 1964).
Hal 18
[11] Fatrurrahman
Djamil, Op.Cit. Hal 52
[12] Al-Bukhari,
Sahih al-Bukhari, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr). Hal 167
[13] Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002).
Hal 907
[14] Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi (Cet. I; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002). Hal 162
[15] Abu
Ishaq al-Syatibi, Op.Cit. Hal
228
[16] Ibn
Munzir, Op.Cit. Hal 3046
[17] Mukhtar
Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif,
1986). Hal 362
[18] Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. III; Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2003). Hal
1723
[19] Syamsul
Bahri, Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2008). Hal 156.
[20] Abu
Ishaq al-Syatibi, Op.Cit. Hal
215
[21] Jalaluddin
Rahman, Op.Cit. Hal 321
[22] Ibid. Hal 323
[23] Ibid. Hal 300
[24] Ibid. Hal 308
[25] Jalaluddin
Rahman, Op.Cit. Hal 307
[26] Setiawan
Budi utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Hal 176-177.
[27] Jalaluddin
Rahman, Islam Dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, (Cet. I; Ujung
Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997). Hal 6
[28] Abdul
Azis Dahlan (ed.), Op.Cit. Hal
1723
[29] Muhammad
Abu Zahra, Usul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Ushul Fiqih (Cet.
VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 200). Hal 484
[30] Imam
Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam dan Relevansinya bagi
Pembangunan Hukum Nasional (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006). Hal 129-130
[31] Abdul
Azis Dahlan (ed.), Op.Cit. Hal. 1724
Komentar
Posting Komentar