RADIKALAISME DAN TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM POSITIF


RADIKALAISME DAN TERORISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN 
HUKUM POSITIF 

A.    Latar Belakang

Istilah radikalisme seakan melekat dan diproduksi oleh kaum Barat, namun gejala dan perilaku kekerasan itu dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat Islam. Fenomena radikalisme dalam Islam sebenarnya diyakini sebagai produk atau ciptaan abad ke-20 di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, sebagai hasil dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang melebarkan kolonialisme dan imperialime ke dunia Islam. Terpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam merasakan terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang teguh.[1] Hal ini menyebabkan munculnya gerakan radikal dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai sebuah penyelesaian dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai disitu, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap secular dan menyimpang dari ajaran agama yang murni.

Selain  istilah Islam radikalisme  juga dikenal istilah lain yaitu  islam fundamentalisme, ada yang mengidentifikasi  dan  menjelaskan istilah yang  digunakan  oleh  pengamat  dan sarjana  politik untuk Islam, baik dari masa klasik maupun hingga masa modern tentang kebangkitan Islam di dunia. Untuk itu, di dalam pembahasan akan diuraikan beberapa pengertian (terminology) radikalisme dalam Islam.

Selanjutnya, seakan melekat istilah radikalisme tersebut terhadap islam yang ditandai dengan gerakan-gerakan yang bersifat anarki dan juga separatis juga didalm sebuah negara seolah menjadi sebuah merek atau brand yang pada dasarnya menjatuhkan martabat islam itu sendiri yang seharusnya menjadi sebuah agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).

Di Indonesia ahir-ahir ini banyak sekali bermunculan aliran atau faham yang radikal yang melekatkan dengan agama islam sehingga menjadi sebuah istilah islam radikalisme yang menyuaran sebuah gerakan perubahan atau purenifikasi ajaran islam dengan berbagai cara dan yang lebih menegeriakn lagi bahwa ada sebuah asumsi faham radikalisme ini merambah kepada kelompok teroroisme yang dapat mengancam negara kesatuan repubik indoesia.

Oleh karean itu, penulis akan mecoba membahas tentang faham radiklaisme dalam perspektif islam dan hukukm positif.  

 

B.    Tujuan

Tujuan dari penulisan tenatang faham radiklaisme dalam perspektif islam dan hukukm positif yaitu dianataranya sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui faham radiklaisme dalam perspektif islam dan hukum positif. 
  2. Untuk mengetahui bagaiamana upaya mencegah faham radikalisme.

C.    Pembahasan

1.     Pengertian Radikalisme

Terminologi radikalisme dalam agama, apabila dihubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam kamus bahasa Arab. Istilah ini adalah murni produk Barat yang sering dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam. Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar dengan istilah lain, seperti: “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan oleh Gilles Kepel atau “Islam Radikal” menurut Emmanuel Sivan, dan ada juga istilah “integrisme, “revivalisme”, atau  “Islamisme”.[2]  Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Dibandingkan dengan istilah lainnya, “Islam radikal”, yang paling sering disamakan dengan “Islam fundamentalis”.

Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi, memberikan istilah radikalisme dengan istilah al-Tatarruf ad-Din. Atau bahasa lugasnya adalah untuk mempraktikkan ajaran agama dengan tidak semestinya, atau mempraktikkan ajaran agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Jadi jauh dari substansi ajaran agama Islam, yaitu ajaran moderat di tengah-tengah. Biasanya posisi pinggir ini adalah sisi yang berat atau memberatkan dan berlebihan, yang tidak sewajarnya. Lanjut al-Qaradhawi, posisi praktik agama seperti ini setidaknya mengandung tiga kelemahan, yaitu: pertama, tidak disukai oleh tabiat kewajaran mansia; kedua, tidak bisa berumur panjang, dan yang ketiga, ialah sangat rentan mendatangkan pelanggaran atas hak orang lain.[3] Apa makna dari implikasi cara beragama seperti ini, ialah bahwa dalam praktik pengalaman beragama terdapat orang-orang berperilaku ekstrim, sehingga melebihi kewajaran yang semestinya.

2.     Sejarah radikalisme dalam perspektif Islam dan perkembangnya di Indonesia

Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada sampai kelak. Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341, HR Muslim 1773) dan hadits yang menceritakan mengenai ciri-ciri kelompok radikal (HR Bukhari nomor 7123, Juz 6 halaman 20748; Sunan an-Nasai bab Man Syahara Saifahu 12/ 474 nomor 4034; Musnad Ahmad bab Hadits Abi Barzakh al-Aslami 40/ 266 nomor 18947). 

Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini muncul sebagai respon ketidakksepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah ‘Ali Ibn Abu Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam perjalanannya, Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai bentuk firqah. Sehingga, sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar fanatik, tekstual, dan fundamental. Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan stempel “kafir”, “bid’ah”, dan “sesat”.

Dalam tataran kenegaraan pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak).

Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan surga, kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak kalangan muda yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri.  Ironisnya, bekal keagamaan mereka pun belum dapat dikatakan mencukupi (belum ‘alim dan faqih), namun mereka sudah gencar berdakwah atas perspektif yang mereka pelajari sendiri. Model gerakan mereka pun sangat masif dan terkoordinir dengan baik sehingga mampu memengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, paradigma ini harus menjadi perhatian serius.

Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik sampai pada puncaknya, yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada akhirnya, radikalisme ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf terendah, radikalisme sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim “sesat”, “bid’ah”, dan “kafir” bagi kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya, keresahan tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis.

Permasalahan radikalisme dan terorisme yang saling keterkaitan ini pun sangat kompleks. Buku Samuel P. Huntington tersebut mempengaruhi AS untuk menciptakan Islam militan sebagai terorisme, meskipun Huntington sendiri tidak memberikan batasan-batasan “militan” sehingga Islam militan yang dimaksud itupun akan menjadi bias dan berpotensi melebar. AS pun juga selalu berkampanye bahwa Islam militan adalah terorisme. 

Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni Barat. Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan revolusi secara besar-besaran.

Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.[4] Radikalisme sering dihubungkan dengan suatu komunitas kelompok agama yang bertindak tegas dalam membela agama mereka, namun radikalisme yang terjadi cenderung menjadi suatu tindak kekerasan yang tidak terkontrol. Radikalisme agama terjadi di berbagai belahan dunia, di Indonesia sendiri radikalisme tersebut kian marak sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. Radikalisme agama yang terjadi tidak terlepas dari masalah teror dan teroris. Dalam paper ini akan dibahas tentang radikalisme Agama Islam, apa yang menjadi pendorong tindakan radikalisme, siapa pelaku radikalisme tersebut, dan apa saja yang menjadi tindakan radikalisme.

Radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[5] Sementara Islam merupakan agama perdamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. Namun pemahaman agama yang salah dan bagaimana agama tersebut diintrepretasikan merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasaan dalam Agama Islam. Karena itu, terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam, yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai target politik yang ditopang oleh sentimen atau emosi keagamaan. Terorisme berasal dari bahasa Latin Terrere yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas.[6] 

Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam dengan selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, mati sahid ataupun menjadi teroris adalah suatu tindakan yang merugikan banyak pihak. Kegiatan radikal seperti teroris yang mati sahid dengan aksi bom bunuh diri sering kali dianggap sebagai suatu pembelaan terhadap Tuhan yang seharusnya tidak perlu dilakukan karena Tuhan tidak perlu dibela apalagi dengan cara yang salah seperti itu. Istilah terorisme muncul pada saat Revolusi Prancis tahun 1789 yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang dzalim. Mereka meneror para penguasa dengan kata-kata makin membuat penguasa tersebut mengundurkan diri dari jabatannya. Tindakan teroris yang meneror memang sah-sah saja mengatasnamakan perjuangannya untuk kepentingan agama, rakyat dan kedamaian, namun pada kenyataanya cara-cara yang mereka tempuh telah merugikan banyak pihak. Tidak sedikit yang menjadi korban adalah orang-orang yang tidak bersalah. Sekarang ini terorisme tidak hanya bertindak meneror tapi juga melakukan pembunuhan dengan menggunakan bom bunuh diri. Aksi seperti ini ditujukan kepada sasaran yang tidak langsung dengan merugikan dirinya sendiri dan banyak orang lainnya.

Aksi terorisme di Indonesia seperti itu memiliki frekuensi yang meningkat pesat pasca keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya aksi pengeboman gereja dan tempat ibadah di sejumlah kota, seperti Jakarta, Medan dan Makassar pada tahun 2002, bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, hotel J.W Mariot Jakarta pada tahun 2003 dan 2009 dan Kuningan pada tahun 2003. Terorisme tersebut selalu terkait dengan upaya untuk mencapai tujuan meski menghalalkan berbagai cara. Mereka berusaha menyingkirkan orang-orang yang mereka anggap kafir dengan pedoman Al-Qur’an yang mereka simpulkan dan tafsirkan dengan cara yang salah, sehingga mereka memposisikan Agama Islam sebagai agama perang yang harus menumpas eksistensi umat agama lain sesuai dengan ajaran agama mereka tersebut.

Gerakan-gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya didasari oleh emosi keagamaan yang berpedoman pada interpretasi ajaran agama. Dalam hal ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka jalan yang perlu ditempuh untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama (khususnya Islam) harus mulai dengan rekontruksi terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar simbolik-normatif menuju pemahaman yang etik, substansial dan universal.[7] Namun hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan upaya yang menyeluruh dan kompleks. Mengubah pola pikir dan sikap mental adalah perbuatan yang amat sulit dilakukan terlebih-lebih jika pola pikir sebelumnya sudah ditopang dengan akidah (keyakinan) keagamaan dan ajaran yang kuat dan mengakar.

Pendidikan  keagaaman yang diterima oleh para teroris kebanyakan dari pesantren yang mendakwahkan radikalisme dengan pandangan-pandangan tertentu. Beberapa teroris seperti Amrozi, Muklas, Ali Imron dan Imam Samudra menjadi teroris setelah mendapat pelajaran dan pelatihan dari pesantren yang merupakan asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji.[8] Terorisme agama biasanya muncul akibat adanya pemahaman keagamaan yang bercorak spiritual, yakni berdasarkan teks semata tanpa mengaitkannya dengan konteks yang mengitarinya. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap fanatik dan militan yang berujung pada pandangan yang menganggap bahwa hanya dirinya sajalah yang benar. Sikap seperti itu akan mendatangkan lahirnya terorisme bila didukung oleh lingkungan sosial politik yang dianggap tidak benar dan menekan, sehingga mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang tersebut mengarah kepada aksi terorisme. Kelompok seperti ini memiliki ciri khas seperti menafsirkan hukum Islam secara kaku, bersikap anti-Barat dan Agama Semit, dan kritis terhadap etnik China dan umat Kristen yang secara ekonomi dan politik lebih mapan ketimbang kelompok-kelompok Islam militan.[9] 

3.     Radikalisme dan Terorisme dalam perspektif hukum positif di Indonesia.

Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.[10]

Menurut Persatuan Bangsa-bangsa (PBB): “Terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa, atau menghancurkan kebebasan azasi, atau melanggar kehormatan manusia.” [11]

Seperti yang telah diterangkan, definisi tindakan terorisme di Indonesia itu memiliki unsur membuat rasa takut kepada orang lain, dan rasa takut itu juga harus ditujukan kepada orang yang banyak atau massal. Seumpama tidak termasuk dari unsur ini, maka kejahatan tersebut hanya masuk di dalam ketentuan pidana biasa.

Selanjutnya di Pasal 9 UU Tindak Pidana Terorisme, terdapat ketentuan pidana terorisme yaitu bagi orang yang membantu seorang teroris untuk mendapatkan bahan peledak, amunisi dan yang menyamainya. Hanya saja, seumpama orang melakukan tindakan yang sesuai dengan Pasal 6, maka ia akan dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan Pasal 9 menentukan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Jadi bedanya hanya pidana penjara paling singkat yaitu antara 4 dan 3 tahun.

Perlu diketahui, Pasal 6 dan 9 ini kejahatan tindakan pidana terorisme. Akan tetapi UU ini tidak berhenti hanya pada tindakan terorisme yang berhasil. Ia juga memberi ketentuan bagi tindakan yang memiliki niat untuk tindak pidana terorisme, tapi tidak berhasil. Ini terdapat di Pasal 7 dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Ada juga tindak pidana lain dari tindak pidana terorisme, akan tetapi ia berkaitan dengan terorisme. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 20-24. Contoh dari tindak pidanan ini adalah seperti usaha mengintimidasi penyidik dalam penyidikan kasus teroris. Hanya saja, tindakan ini tidak dihukum seberat dengan tindakan kejahatan terorisme murni.

Bab VI UU Tindak Pidana Terorisme pula mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. UU ini memberikan pengaturan tentang perlindungan korban dan ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme.[12]

Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan gati kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya.[13]

Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Apabila negara tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aksi terorisme) pemerintah harus bertanggung jawab untuk memulihkannya.[14]

Salah satu keistimewaan UU Tindak Pidana Terorisme adalah ia memiliki ketentuan kerjasama internasional. Kerjasama internasional ini diatur di dalam Pasal 43 UU Tindak Pidana Terorisme.[15] Wujudnya Pasal 43 ini mencerminkan bahwa kejahatan terorisme adalah sebuah kejahatan internasional dan seluruh rakyat internasional ingin melawannya.

 

D.    Mencegah, Mengubah, Paradigma Islam dan Teroris

Mengatasi radikalisme atau ektremisme serta perilaku kekerasan dalam dan melalui pendidikan tak bisa reaktif, parsial, dan emosional. Upaya ini harus terencana komprehensif  dan berkelanjutan dalam strategi pendidikan kebangsaan yang sejak reformasi terabaikan. Secara internal kita menghadapi tantangan baru akibat perubahan dahsyat, seperti diberlakukannya otonomi daerah, keterbukaan dan liberalisasi dalam hampir setiap aspek kehidupan. Secara eksternal, perkembangan globalisasi dan teknologi informasi, kita menyaksikan beragam pertentangan dan kekerasan ideo-politis yang dikaitkan dengan aliran keagamaan sehingga mudah memengaruhi masyarakat.

Didalam upaya-upaya menecegah dan menagal segal bentuk faham radikalisme yang mengarah pada terorisme maka Bangsa Indonesia perlu konsep baru pendidikan kebangsaan yaitu diantaranya sebagi berikut:

1)     Memberikan pendidikan atau pemahaman didalam menyadarkan dan menjabarkan tentang keniscayaan Pancasila dalam kehidupan bersama sebagai bangsa yang memiliki perbedaan. Nilai-nilai Pancasila tak cukup diajarkan sebagai dasar administrasi kenegaraan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melainkan dapat diaplikasikan didalam kehidupan bermasyarakat dengan saling menghargai dan selalu menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

2)     Pendidikan kebangsaan harus mencakup kesadaran dan kebanggaan akan takdir geografis serta tanggung jawab terhadap kebudayaan dan nasib bangsa di masa depan. Posisi geografis menganugerahi kita berbagai kekayaan alam di langit, bumi, dan perairan. Bumi pertiwi tak hanya menumbuhkan keberagaman flora dan fauna, tetapi juga kebinekaan suku dan kebudayaan yang seyogianya jadi berkah dan kejayaan. Namun, dalam perencanaan pendidikan.

3)     Didalam kerangka pendidikan kebangsaan, pendidikan agama harus diarahkan ke upaya sikap keberagamaan dan rahmatan lil alamin, yaitu menjadikan orang beriman lebih bermanfaat dan umat terbaik. Agama harus diformulasikan sebagai solusi dan daya konstruktif yang membahagiakan kehidupan. Bukan sebaliknya sebagai kekuatan destruktif dan beban yang menyengsarakan. Sikap radikal atau ekstrem keagamaan, sering kali lahir dari pemahaman agama yang berorientasi negatif yang tertanam melalui pengajaran, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sehingga dengan upaya-upaya tersebut yang ditanamkan dalam pendidikan di tanah air setidaknya akan meminimalisir paham radikal yang tersebar di kehidupan masyarakat Indonesia.

4)     Penegakan hukum terhadap aksi-aksi radikal dan terorisme harus dilakukan secara komprehensip dengan sangat memperhatikan asas-asas kemanusian dan juga asas hukum yang berlaku di Indonesia, hal ini jangan dimaksudkan untuk mengantisipasi masalah radiklaisme dan terorisme malah menimbulkan polemik baru, hal ini bisa saj terjadi apabila terjadi kesalahan didalam penangan pelaku radikalisme. Hal ini sebagai cerminan agar aparat penegak hukum dapat menegakan hukum dengan seadil-adilnya. Salah satu upaya yang harus segara diselesaikan untuk mencegah radikalisme dan terorisme yaitu pembentukan undang-undang terorisme.  

 

E.    Kesimpulan

Radikalisme dan terorisme merupakan suatu rangakaian yang berhubungn diantara keduanya, hal ini dapat dikaitkan antara radikalisme yaitu suatu kesalahan yang terjadi didalam memahami sebuah ajaran agama dengan memahami suatu ilmu secara tekstualis yaitu memperaktikan teks terhadap realita kehidupan yang tak senada, sehingga menimbulkan implikasi ingin memurnikan ajaran agama sebagaimana mestinya seperti yang tercantum dialam teks tersebut. Sahingga berujung pada tindakan-tinkdan yang ekstrim atau radikal (kekerasan) sebagi jalan pilihan unutuk memperjuangkan faham yang telah dianut.

Apabila tidakan-tindakan kekerasan ini menjadi pilhan suatu kelompok atau faham didalam memperjuangkan apa yang difahaminya, maka dapat berlanjut pada tindakan terorisme yang mengancam ketertipan umum bahkan mengacam kedaulatan sebuah negara.

Oleh karena itu, pengananan tindakan radikalisme dan terorisme ini tidak dapat dianggap ringan atau biasa-biasa saja, tetapi harus dengan tindakan masif dari mulai pencegahan, penagangan, dan sanksi bagi pelaku serta penanganan korban radikalisme dan terorisme.


[1] R. Hrair Dikmejian , Islam in Revolution: Fundamentalism in Arab World (New York: Syracuse University Press, 1985), h. 25- 36.

[2] Junaidi Abdullah, “Radikalisme Agama: Dekonstruksi Ayat Kekerasan dalam al-Qur’an”, dalam Jurnal Kalam, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, h. 3.

[3] Nazih Ayyubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London and New York: Routledge, 1991), h. 67.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. h. 123

[5] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan Media Utama, 1995), h.124.

[6] Mark Juergensmeyer, Terorisme Para Pembela Agama, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), h. 6.

[7] www.log.gov/rr/fdr.Sociology-psychology2002Terrorism.htm: 25, diakses oleh Shandy Yoan Barus pada tanggal  9 juli 2017, pukul 14.50 WIB.

[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). h. 56

[9] Khamami Zada, Islam Radikal, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), h. 72

[10] Undang-Undang  Nomor 15 Tahun 2003

[11] Dzulqarnain Muhammad Sunusi, anatar jihad dan terorisme, (makassar: pustaka as sunnah, 2011). h.125.

 

[12] Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 36-42

[13] Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007). h.131

[14] Ibid. h. 131

[15] Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 43.












Komentar